Thursday, March 29, 2012

Sistem Kliring di Indonesia

BI sebagai bank sentral di Indonesia mempunyai tiga pokok tugas yaitu diantaraya adalah:
1.       Pengatur dan pengawasan bank yaitu bagaimana menilai kesehatan bank
2.       Pelaksana kebijakan moneter seperti bagaimana melakukan operasi pasar terbuka dan giro wajib minimum dengan tujuan untuk mengontrol jumlah uang yang beredar dan mengendalikan inflasi, dan
3.       Menjaga dan melayani sistem pembayaran diantaranya menyangkut permasalahan instrumen uang dan juga bagaimana membuat sistem pembayaran elektronik seperti sistem kliring.
Kliring antar bank adalah pertukaran warkat atau data elektronik antar bank atas nama bank maupun nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Warkat atau data keuangan elektronik dimaksud merupakan alat pembayaran bukan tunai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau ketentuan lain yang berlaku yang lazim digunakan dalam transaksi pembayaran, biasanya bisa berupa cek, bilyet giro, wesel bank untuk transfer, surat bukti penerimaan transfer, nota debet, nota kredit.
Tujuan dari sistem kliring adalah:
1.       Memajukan dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral antar bank di seluruh Indonesia.
2.       Agar perhitungan penyelesaian utang-piutang dapat dilaksanakan lebih mudah, aman dan efisien.
3.       Salah satu pelayanan bank kepada nasabah masing-masing terutama dalam hal keamanan dan biaya yang dikeluarkan.
Adapun pelaku kliring dibagi menjadi tiga yaitu pembayar (remitter), penerima (payee) dan bank umum yang kemudian dibagi lagi menjadi dua yaitu bank pengirim (remitting bank) dan bank pembayar (paying bank).
Berikut ini adalah kasus kliring yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari.

Pak E mempunyai rekening giro di Bank A. Suatu hari dia melakukan transaksi pembelian barang dengan Pak U yang mempunyai tabungan di Bank X. Pembayaran dilakukan menggunakan cek Bank A dari Pak E yang kemudian diserahkan ke Pak U ke Bank X. Kemudian oleh Bank X, terjadilah penyerahan warkat kliring yang kemudian dicek dan dilaporkan ke Bank Indonesia ada atau tidaknya isi cek tersebut (sesi1).Dari BI kemudian dicek lalu dilakukan penerimaan warkat di Bank A. Untuk sesi berikutnya terjadilah penerimaan atau penolakan warkat oleh Bank X melalui BI (sesi 2).
Sehingga dari skema tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa sesungguhnya sistem kliring adalah dimana suatu proses untuk menyelesaikan permasalahan hutang piutang yang melibatkan lebih dari satu bank. Proses ini hanya bisa dilakukan oleh Bank umum saja karena Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hanya bisa melakukan kegiatan tabungan dan deposito saja.

Menilai Kesehatan Bank

Menilai kesehatan suatu  bank sangat penting dilakukan. Kesehatan tersebut bisa diukur berdasarkan kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal & mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dan sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup kemampuan menghimpun dana, menyalurkan dana ke masyarakat, menyalurkan dana ke masyarakat dan kemampuan pemenuhan peraturan yang berlaku.
                Berdasarkan surat edaran Bank Indonesia No. 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 perihal penilaian tingkat kesehatan bank umum (atau yang lebih dikenal dengan CAMELS), yang menjadi matriks parameter atau indikator penilaian tingkat kesehatan bank terdiri atas empat faktor yaitu faktor profil resiko (R),  Good Corporate Government (G), rentabilitas (E) dan permodalan (C). Profil resiko mencakup delapan jenis resiko yaitu (1) risiko kredit, (2) risiko pasar, (3) risiko likuiditas, (4) risiko operasional, (5) risiko hukum, (6) risiko stratejik, (7) risiko kepatuhan, dan (8) risiko reputasi.
Jika dipetakan secara lengkap, faktor kualitas asset (A), likuiditas (L), dan sensitivitas terhadap resiko pasar (S) pada pada Sistem CAMELS melebur ke dalam faktor profil resiko (R) pada Sistem RGEC, sedangkan faktor rentabilitas (E) dan permodalan (C) tetap ada pada sistem yang baru. Seolah-olah ada faktor baru yaitu Good Corporate Governance (G) yang menggantikan faktor Manajemen (M) pada sistem lama. Namun jika dicermati, kepatuhan terhadap penerapan GCG sudah masuk pada faktor Manajemen (M) pada sistem CAMELS yaitu dimasukkan pada komponen manajemen umum. Dua komponen lainnya untuk faktor Manajemen pada sistem CAMELS- yaitu Penerapan Sistem Manajemen Resiko dan Kepatuhan Bank, sebagian besar indikatornya diperkirakan masuk ke profil resiko pada sistem RGEC. Akhirnya tinggal GCG yang tersisa dalam faktor Manajemen. Jadilah GCG sebagai faktor tersendiri dalam sistem yang baru. Faktor GCG pada sistem baru pasti akan diperkaya terlebih dahulu oleh BI dengan beberapa model, prinsip atau praktek yang terbaru sesuai dengan perubahan atau perkembangan kondisi dan situasi terkini.
                Sementara untuk skala atau predikat penilaian berkisar dari 1 sampai 5 dimana urutan peringkat faktor yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik. Sedangkan hasil akhir penilaiannya disebut Peringkat Komposit yaitu peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Adapun kondisi bank berdasarkan peringkatnya adalah sebagai berikut:
  •  Peringkat 1 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya
  • Peringkat ke 2 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sehat, sehingga dinilai mampu menghadapi pengaruh negative yang signi signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya
  •  Peringkat 3 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum cukup sehat sehingga dinilai cukup mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya
  • Peringkat 4 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum kurang sehat sehingga dinilai kurang mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya
  • Peringkat 5 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. 
a   Sumber:
     Surat edaran Bank Indonesia No. 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011

Thursday, March 22, 2012

Peranan Dasar Lembaga Keuangan

Masalah pokok dan paling sering dihadapi oleh setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha apapun selalu tidak terlepas dari kebutuhan akan dana (modal) untuk membiayai perusahaannya. Kebutuhan akan dana ini diperlukan untuk modal investasi atau modal kerja. Dana memang dibutuhkan  baik untuk perusahaan yang baru berdiri maupun sudah berjalan bertahun-tahun.
Bank merupakan lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan yang paling lengkap. Usaha keuangan yang dilakukan disamping menyalurkan dana atau memberikan pinjaman (kredit) juga melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan. Kemudian usaha bank lainnya adalah memberikan jasa-jasa keuanan yang mendukung dan memperlancar kegiatan memberikan pinjaman dengan kegiatan menghimpun dana.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan bank adalah sebagai perantara antara masyarakat yang kelebihan dana dengan masyarakat yang kekurangan dana. Bagi masyarakat yang kelebihan dana dapat menyimpan uangnya dalam bentuk simpanan giro, tabungan, deposito, atau bentuk simpanan lainnya. Begitu pula masyarakat yang kekurangan dana dapat meminjam yang di bank dalam bentuk kredit. Untuk lebih jelasnya peranan bank sebagai perantara keuangan terlihat dalam gambar berikut ini: